86 : Ada Uang Beres Perkara

Arimbi, seorang juru ketik di Pengadilan kini tak lagi tampil lusuh dan lugu. Gayanya berubah semenjak kedatangan sebuah AC di kostannya yang sempit itu. Tanda terima kasih katanya dari seseorang yg perkaranya menang di Pengadilan yang diikuti Arimbi.

Berawal dari kejadian itulah Arimbi tahu kalau di pengadilan tempatnya bekerja ini sudah biasa dengan tanda "ucapan terima kasih". Tak ada satu perkara pun yg selesai diketik tanpa disisipi selembar dua lembar uang ucapan terima kasih.

“Memang terima-terima seperti itu tidak apa-apa ya?” tanya Arimbi pada teman dekatnya di kantor, Anisa.

“Ya tidak apa-apa, wong bosnya juga terima. Semua orang kalau kamu tanya juga pasti terima… Semua orang di sini juga seperti itu. Jadi tahu sama tahu. Yang bego yang nggak pernah dapat. Sudah nggak dapat apa-apa, semua orang mengira dia dapat.”

Ucapan Anisa tersebut dijadikan legitimasi bagi Arimbi untuk berbuat sama.
Arimbi yang diterima sebagai PNS di pengadilan ini melalui tes yang dilaksanakan secara fair, awalnya tak pernah mengira ada praktik-praktik semacam itu di pengadilan tersebut. Sang pacar, Ananta sampai heran ketika Arimbi tak ikut bermain untuk mendapatkan uang melalui model serupa itu.

Tapi itu dulu.. dulu saat Arimbi masih lugu. Sekarang lihatlah penampilannya, baju dan tasnya berganti setiap bulan.. Dia pun tak pernah khawatir akan kehabisan uang karena ada uang di luar gajinya.
Dalam buku ini, sang pengarang Okky Madasari berusaha menggambarkan tentang praktik suap yang sudah biasa terjadi di lembaga-lembaga peradilan. Tak hanya di sana, Okky pun menunjukkan bagaimana hampir di semua lembaga ada praktik tersebut.

Saat Ananta bercerita tentang ayahnya yang dahulunya seorang office boy di lembaga pertanahan, Okky secara tersirat menggambarkan bahwa lembaga tersebut pun tak lepas dari praktik suap menyuap.

“Urus sertifikat itu susah. Kalau mau bikin ya harus kenal orang dalam, harus pakai duit…(hal. 98).

Juga di penjara:

“Di setiap pintu yang dilewati, uang sepuluh ribu harus diberikan ke petugas. Ada tiga pintu yang mesti dilewati untuk sampai ke ruang besuk [di penjara]. Petugas-petugas itu memang tak pernah meminta, apalaggi memaksa. Tapi kalau tidak diberi, jangan harap dia bisa bertemu dengan Arimbi. “Delapan enam ya!” celetuk petugas ketika Ananta menggenggamkan uang di tangan mereka. (hal. 182).

Delapan enam (86) kini telah berubah makna, dari sebuah sandi polisi yang berarti "bubar jalan" menjadi kode tersendiri bagi pelayan publik untuk meminta pemakluman atas permintaan mereka untuk "uang terima kasih".

Kita tentu masih ingat bagaimana Gayus bisa tertangkap sedang menonton pertandingan Tennis padahal seharusnya di penjara, atau bagaimana kemewahan sel Artalita yang juga pernah tersorot media. Semua hal itu tak lepas dari praktik 86.

Miris dan sedih memang ketika mata dewi keadilan yang seharusnya tertutup sehingga bisa berlaku adil, kini menoleh ke arah uang tersebut berada.

Okky bisa menggambarkan kemirisan dan kesedihan tersebut dalam novel ini. Dengan plot yang sederhana, novel ini berhasil memberikan gambaran tentang praktik korupsi yang sudah mendarah daging di negeri ini. Sebagai mantan wartawan, Okky sangat jeli melihat kasus-kasus tersembunyi yang dia tuangkan ke dalam kisah hidup Arimbi, seorang juru ketik di pengadilan yang kepolosannya goyah karena tergiur uang yang dengan mudah dia dapatkan. Kesulitan hidup yang Arimbi hadapi untuk sementara teratasi, meski kemudian harus dia bayar mahal dengan hukuman penjara karena tuntutan kasus korupsi.

Ketika uang akhirnya memandu hidupmu, mungkin saat itu kamu sedang berada pada titik terendah dalam hidup.

Rate : 4/5


Judul      : 86
Penulis   : Okky Madasari
Jml Hlm : 256
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

2 comments

  1. Apakah semenarik Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk?? Aku merasa intisari dari buku dengan buku yang aku sebutkan hampir mirip. Kekuasaan dan keserakahan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku baru baca bukunya tere liye itu yg covernya merah.. Negri Para Bedebah ya?
      Menurutku buku ini beda sama buku tere liye yang udah aku baca ini. Okky lebih menyoroti perilaku sosial. Ga pake adegan action segala. Arimbi yang akhirnya kena lingkaran setan tuh bikin nyesek hati.. Jadi seperti melihat orang yang semakin lama semakin terhisap dalam lumpur.. Jeri tapi ga bisa lakuin apa2.. Kesan kayak gitu yang aku dapat dari buku ini.

      Delete